Rohaya yang merupakan mahasiswi Sosiologi Agama, Fakultas Ilmu Sosial, UIN Sumatera Utara mendapatkan penghargaan sebagai Editor, Sekretaris, dan Pimpinan Redaksi Terkomunikatif 2019 dari Penerbit Biru Magenta Media. Penghargaan dalam bentuk sertifikat ini ditanda tanganin oleh CEO Biru Magenta, Yuni Maulida ditandatangi di Lumajang pada tanggal 2 Maret 2019. Selamat Buat Rohaya dan terus kembangkan kreativitasnya..
PRODI SOSIOLOGI AGAMA GELAR SEMINAR NASIONAL “SEBUAH SIKAP PANGGILAN KAFIR” DALAM DEMOKRASI
Program studi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumut bekerja sama dengan Komite Nasional Lutheran World Federation (KN LWF) menggelar Seminar Nasional dengan tema: “Bhineka dalam Demokrasi- Sebuah Sikap Tentang Panggilan Kafir” yang diselenggarakan pada hari Senin,18 Maret 2019 di Aula Dakwah UIN Sumut.
Acara yang dihadiri lebih dari seratus mahasiswa UIN Sumut ini menghadirkan narasumber dari Jakarta antara lain Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute (Dr. HM. Imdadun Rahmat, M.Si) Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Jerry Sumampouw), Inisiator #RakyatAkalSehat (Abi Rekso Panggalih) dan juga sebagai tuan rumah Ketua Prodi Sosiologi Agama FIS UIN Sumut (Dr. Irwansyah, M,Ag) dan moderator Faisal Riza, MA.
Direktur SAS Institute, Dr. HM. Imdadun Rahmat mengatakan dalam materinya tentang Kebhinekaan dan Demokrasi : menjamin hal sipil politik kaum minoritas agama perspektif Islam, bahwa konsep perlindungan hak dasar dalam Islam mengacu pada konsepsi “kesetaraan” yang tertuang dalam Al Quran dan Hadist diantaranya “ayyuhannas ala inna robbakum wahid, wa inna abakum wahid, ala la fadzlun li arobiyyin ‘ala a’jamiyyin, wala li a’jamiyyin ala arobiyyin wala li akhmarin ‘ala aswadin, wala aswadin ‘ala akhmarin illa bit taqwa”, pada konsep perlindungan yakni “inna dimaakum wa amwalakum, waa’radlakum haromun alaikum”.
“ Maka dalam konteks warga negara, hak sipil dan politik Non-Muslim, diberikan perlindungan keselamatan, keamanan, hak milik, jaminan keadilan, kehormatan , non eksploitasi dan juga hak privasi, “ ujar Dr HM. Imdadun rahmat yang juga Wasekjen PBNU ini.
Maka dari itu, negara juga memberikan hak dan kebebasan beragama Non Muslim, tidak ada paksaan sama sekali. Kemudian pada konteks rekomendasi NU yang baru baru ini menjadi viral yaitu tidak menggunakan lagi istilah Kafir bagi non Muslim sesungguhnya dimaksudkan dalam konteks warga negera.
“NU tidak sedang membicarakan kafir sebagai status keimanan, tapi status kewarganegeraan, “ kata Mantan Ketua Komnas HAM RI ini.
Adapun argumen (hujjah) tersebut yakni kafir sebagai sebagai status dalam hukun fiqih Siyasah : untuk sebutan non Muslim di Indonesia tidak cocok dengan status kafir “dlimmi”, kafir “Mu’ahhad” , kafir “Musta’man”, apalagi kafir “harbi”. Selain itu pada argumen selanjutnya sebutan kafir juga juga dapat melukai perasaan orang hal ini dijelaskan oleh Syaikh Najmuddin Azzahidi dalam kitab “ Al- Qunyah” dan Imam Ibnu Abidin dalam kitab “Hasyiyah ar-Rod-Al-Mukhtar” yang mengatakan menyebutkan Kafir hukumnya haram dan sangsinya “takzir”
Jerry Sumampouw dari Koordinator Komite Pemilih Indonesia mengatakan bahwa dalam demokrasi saat ini setidaknya ada tiga tantangan antara lain, politik uang (money politic), politik dinasti dan politik identitas yang kemudian dibungkus melalui media sosial yang didalmnya siapa saja dapat menyebarkannya, ada okum-oknum yang dengan sengaja menjadi provokator serta banyak yang termakan Hoaks dan fitnah belaka.
“ Pada keadaan ini, posisi pemilih kita dikelompokkan menjadi empat yakni dari tepi ke pusat, tidak ada yang mendampingi, terhegemoni, serta mudah digiring dengan isu agama, “ ujarnya.
Dirinya pun menilai saat ini demokrasi kita bisa jadi pada posisi demokrasi yang sifatnya prosedural belum kepada demokrasi yang subtansial seutuhnya, politik Indonesia belum ideologis masih tidak stabil.

Abi Rekso Panggalih dari #RakyatAkalSehat juga menyampaikan bahwa percakapan publik hari ini belum menunjukkan pikiran-pikiran yang sehat namun justru dihegemoni sekelompok orang yang memiliki kepentingan dengan atas nama “akal sehat”. Hal ini dibuktikan bahwa ada sebagai kelompok yang kerab menyuarakan “Akal Sehat” namun faktanya justru menyebar Hoaks, finah termasuk juga dalam menyebutan kelompok tertentu yang tidak etis misalnya menyebut “dungu”.
“Maka saya menginisasiasi bersama teman-teman untuk melakuakn gerakan pembersihan virus-virus yang merusak akal sehat masyarakat kita saat ini, “ ujar Abi.
Sementara itu, Ketua Prodi Sosiologi Agama FIS Uin Sumut, Dr. Irwansyah, M,Ag mengatakan bahwa tema ini menjadi sangat menarik untuk didiskusikan apalagi sudah ada wacana tersebut yang dilakukan oleh NU. Maka dari itu dalam seminar ini dapat mencerahkan publik sekaligus pengembangan kajian Studi Prodi Sosiologi Agama FIS Uin Sumut.
Acara seminar nasional ini mendapatkan sambutan hangat dari sekretaris eksekutif KN LWF, Pdt Basa Hutabarat, M.Min dan dibuka oleh Dekan FIS UIN Sumut, Prof, Dr. H. Ahmad Qorib, MA. (RM)


