Literasi Identitas Agama Leluhur

Oleh Ahmed Fernanda Desky, M.Si.

INDONESIA memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan agama yang cukup besar di dunia. Bahkan, Indonesia telah diwarisi berbagai jenis agama leluhur oleh nenek moyang kita. Kuatnya pedoman hidup rakyat Indonesia dalam menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan demi menjaga kedaulatan.

Jiwa nasionalisme juga tidak terlepas dari ideologi bangsa ini dalam memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan norma-norma yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berbagai hambatan, tantangan, dan rintangan telah dilewati negara ini demi memajukan kesejahteraan bangsa yang adil dan makmur.

Penganut agama leluhur adalah kelompok warga negara yang “agama atau kepercayaannya” dimaknai, dipahami dan diperlakukan secara berbeda dari waktu ke waktu. Agama mereka diklaim animis (primitif), sehingga perlu dimodernkan. Agama leluhur diperlakukan sebagai “budaya” yang di satu sisi perlu dikembangkan. Namun, pada masa tertentu, agama leluhur dibiarkan berkembang, dan bahkan dianggap setara dengan agama.

Peran negara saat ini adalah menjaga dan melestarikan keberagaman masyarakat beragama minoritas di Indonesia. Oleh sebab itu negara wajib melindungi, menganyomi, dan memberikan hak-hak mendasar kepada masyarakat agama leluhur ini. Negara menjaga toleransi keberagaman agama secara konstitusi. Hal ini dapat dilihat dari bentuk perhatian negara dalam menjaga kelestarian agama leluhur di Indonesia yaitu di bidang administrasi dan perlindungan hukum.

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 61 ayat (1) menyebutkan KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.

Pada ayat (2) menyebutkan bahwa Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Pada pasal 64 ayat (2) juga menjelaskan bahwa keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Saat ini masyarakat yang beragama leluhur juga sudah mulai diberikan haknya dalam berkesempatan berpartisipasi untuk negara. Misalnya dalam mendapatkan pekerjaan, melakukan sumpah jabatan pekerjaan sesuai agama leluhurnya, kegiatan sosial, ikut berpolitik, merayakan upacara kegamaan,mendapatkan bantuan pemerintah, mendapatkan pendidikan, perkawinan, hak ekonomi, dan kegiatan sosial kebudayaan lainnya.

Keberagaman Agama di Indonesia

Menurut Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk, menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi lalu membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualisasi, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas dan realistis. Agama juga merupakan bagian dari refleksi diri manusia dalam aspek spiritual dan akal pikiran yang meyakini adanya maha pencipta sumber kehidupan di muka bumi.

Masyarakat Indonesia meyakini adanya tuhan yang hidup berdampingan dengan alam sekitar, sehingga menghargai segala isinya sebagai wujud nyata bahwa dalam menjalani hidup perlu adanya pedoman dan paradigma berpikir, baik secara materil maupun immaterial, sehingga dalam mengaplikasikan proses beragama dalam kehidupannya, masyarakat berhak memilih keyakinan atau kepercayaan tersebut sesuai dengan tradisi nenek moyang yang mereka pilih secara rasional.

Perjalanan masyarakat beragama khususnya pada masyarakat lintas iman, mereka belajar dari ajaran agamanya masing-masing bahwa pentingnya mengetahui indahnya keberagaman dan hidup berdampingan dengan cara mempunyai sikap toleransi beragama, sehingga menciptakan integrasi secara nasional dalam suatu bangsa yang aman, nyaman dan damai.

Literasi keberagaman sudah seharusnya tidak hanya diimplementasikan atas keanekaragaman jenis suku, bahasa, ras, etnis dan agama secara garis besar saja. Literasi keberagaman khususnya dalam konteks ini yaitu keberadaan agama leluhur dari Sabang sampai Merauke yang seharusnya diketahui seluruh bangsa ini. Termasuk beberapa agama leluhur yang perlu kita ketahui juga ada di Sumatera Utara, yaitu Galih Puji Rahayu (Gapura),Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada (Parapat), Parmalim Bale Pasogit Huta Halasan (Tobasa), Parmalim Huta Tinggi, Pambhi (Dolok sanggul), Parmalim (Barus),Parmalim Golongan Siraja Batak (Porsea), Parmalim Sijumakkon Uras (Meranti-Tobasa), Persatuan Wargo Rahayu Selamet (PWRS), Perhimpunan Parbaringin Sisingamangaraja (Kisaran-Asahan), Ugamo Bangso Batak (Medan/Samosir).

Agama leluhur ini bisa dijadikan sebagai kekayaan keberagaman agama di Indonesia. Meskipun secara nasional agamatersebut tidak terlihat sebagai agama besar di Indonesia, tapi sangat berharga untuk dijadikan sebagai warisan Indonesia.

Salah satu kontribusi agama leluhur dalam menjaga kelestarianalam di bumi pertiwi sangat berpengaruh pada sektor parawisata. Beberapa aktifitas keagamaan mereka dalam beribadah maupun kegiatan ritual lainnya, seperti upacara adat pernikahan, upacara pemakaman, upacara menyambut masa bertani, upacara panen raya dan aktivitas keagamaan leluhur lainnya juga dapat dijadikan sebagai ciri khas yang sakral yang dapat mengundang daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan menjaga keberagaman agama tersebut, maka dapat menunjukkan kekuatan negara kita kepada negara lain akan sikap toleransi bangsa ini mampu hidup berdampingan secara harmonis di tengah-tengah perbedaan.

Mengidentifikasi Literasi Agama Leluhur

Identitas sosial juga merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang didasarkan pada identifikasinya dengan sebuah bangsa kelompok etnis, gender atau afiliasi sosial lainnya, identitas sosial sangat penting karena mereka memberi kita perasaan bahwa kita memiliki tempat dan kedudukan dalam dunia.

Tanpa identitas sosial, kebanyakkan dari kita akan merasa seperti kelereng yang mengelinding bebas dan tanpa saling terkait antara satu dengan yang lain dalam semesta (Wade, Carole dan Tavris, 2016:310). Analisis Jenkins (2008:112) tentang identitas sosial menunjukkan bahwa kategorisasi sosial menghasilkan identitas sosial dan menghasilkan perbandingan sosial, yang dapat saja berakibat positif atau negatif terhadap evaluasi diri.

Dalam kajian ilmu sosial, perlu adanya identitas diri dalam menunjukkan keberadaan, kekuasaan, dan simbol komunitas mereka di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas sosial didendefinisikan atas dua kata, yaitu identitas dan sosial.

Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang “jati diri”, sedangkan “sosial” didefinisikan sebagai yang “berkenaan dengan masyarakat”. Dengan demikian, identitas sosial didefenisikan sebagai ciri atau keadaan sekelompok masyarakat tertentu. Identitas juga menunjukkan cara-cara dimana individu dan kelompok sosial dibedakan dalam hubungan dengan individu dan kelompok sosial lainnya.

Fungsi identitas sosial seseorang atau kelompok sosial adalah untuk membantu menemukan jati diri dan rasa percaya diri yang lebih tinggi, efektif, efisien, dan dialektif. Dialektif yang dimaksudkan dalah menyangkut dialog atau pembahasan penemuan jati diri identitas sosial, sehingga identitas sosial juga dapat membantu seseorang untuk mengenali dirinya darimana ia berasal melalui cara berpikir dan bertindak.

Negara sudah serius menjaga dan melestarikan kebudayaan agama lokal yang ada di Indonesia baik dari peraturan secara kontstitusi maupun pengambilan peran dalam memajukan bangsa negara ini. Akan tetapi, dari segi pendataan statistik ternyata keberadaan penganut agama leluhur masih simpang siur yang disebabkan karena minimnya data yang konkrit dari setiap penganut agama leluhur tersebut, sehingga negara dan warga negara bersama-sama perlu mendata jumlah penduduk penganut agama leluhur di seluruh Indonesia, baik dari tingkat Desa/Kelurahan, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai ke tingkat pusat secara yang konkrit agar masyarakat Indonesia dapat mengetahuinya.

Literasikeberadaan agama leluhur di Indonesia masih minim, sehingga perlu dilakukannya identifikasi secara mendalam tentang keberadaan mereka. Ini merupakan babak baru bangsa ini untuk melengkapi kekayaan keberagaman agama leluhur secara nyata dan terdata. Apalaginegara memiliki lembaga tersendiri dalam mendata penduduk di Indonesia yaitu Badan Pusat Statistik (BPS).

Tidak dapat dipungkiri, untuk mengakses data jumlah penduduk berdasarkan agama besar yang diakui negara memang sudah ada.Sudah saatnya pada poin “penganut aliran kepercayaan” atau “agama lainnya” dalam hal administrasi di beberapa jenis agama leluhur harus disebutkan secara spesifikterdatamengenai indikator maupun kuantitasagamanya dari sumber literasi tersebut secara manual maupun digital.

Momen melek literasi sangat tepat dalam menggalakkan gerakan literasi digital yang nantinya masyarakat Indonesia dengan mudah mengakses data informasi secara statistik tentang keberadaan agama leluhur sehingga dapat menambah wawasan dibidang sosial, kebudayaan maupun dilingkungan akademisi.

Penulis Merupakan Dosen Tetap Prodi Sosiologi Agama UIN Sumatera Utara Konstrasi Dibidang Sosiologi Perkotaan dan Pedesaan

Link Publikasi:
https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2022/01/26/149852/literasi_identitas_agama_leluhur/